NARATIF.ID, Banda Aceh – Dunia pendakian dalam beberapa tahun terakhir sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda. Hal ini sudah menjadi trend sejak lama untuk anak-anak muda di Pulau Jawa.
Namun berbeda kondisi dengan di Aceh, pada awalnya trend ini dianggap aneh dengan steriotipe masyarakat jika mendaki bukan sesuatu hal yang bermanfaat melainkan hanya mencari kelelahan yang tidak ada untungnya.
Pengaruh media sosial terutama Instagram mempercepat penularan trend mendaki di Aceh, walaupun sebenarnya hobi ini sudah digeluti semenjak dulu dikalangan khusus pecinta alam yang jumlahnya terbatas.
Banyak anak-anak muda yang seketika memiliki hobi baru mendaki gunung. Hal ini selaras dengan telah dibukanya gunung wisata di Aceh, seperti Gunung Burni Telong di Bener Meriah, Gunung Peut Sagoe di Gempang dan baru-baru ini Gunung Seulawah Agam juga sudah hampir dibuka menjadi gunung wisata.
Pada tanggal 3 April 2021 saya kembali berkesempatan melakukan pendakian kegunung Seulawah Agam, gunung yang telah saya kunjungi sebanyak 17 kali semenjak tahun 2009. Secara administrasi gunung Seulawah Agam terletak di Kabupaten Aceh Besar. Gunung ini memiliki ketinggian 1800 mdpl (meter dari permukaan laut). Ada 4 jalur yang bisa didaki untuk mencapai puncak. Pertama jalur Sare, kedua jalur Lamtamot, ketiga jalur Lam Teuba dan yang keempat jalur Lengah.

Setiap jalur memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Jalur favorit yang sering dilewati pendaki adalah jalur Sare, hal ini disebabkan karena jarak menuju ke puncak tidak terlalu jauh hanya berjarak 5 km dan bisa ditempuh dalam waktu 10 jam untuk tiba dipuncak. Start pendakian dimulai dari Pintu Rimba, melewati Pintu Angin, Beringin Tujuh, Tangga Batu, Batu Gajah, Hutan Lumut, Lapangan Upacara dan Puncak.
Pendakian di Gunung Seulawah Agam menurut beberapa referensi sudah dilakukan oleh Belanda pada masa penjajahan dahulu, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya tugu atau pilar di puncak Gunung Seulawah, walaupun pilar tersebut sudah direnovasi oleh gabungan pecinta alam Aceh pada tahun 1995 silam. Pilar ini berbentuk tiang segi empat dengan Panjang lebih kurang 150 cm dan lebar 60 cm.

Gunung Seulawah Agam sangat popular dikalangan Pecinta Alam, karena biasanya setelah menyelesaikan diksar dan menjadi seorang pecinta alam, gunung ini merupakan gunung pertama yang didaki dan sudah menjadi sebuah tradisi.
Seorang pecinta alam memiliki etika dasar yang dijunjung tinggi saat melakukan pendakian. Petama dilarang mengambil apapun selain gambar, kedua dilarang membunuh apapun selain waktu dan yang ketiga dilarang meninggalkan apapun selain jejak. Etika ini tertanam bagi seorang pecinta alam.
Pendakian saya kali ini dilakukan bersama anggota MAPALA UNMUHA yang berjumlah 6 orang, 5 laki-laki dan 1 perempuan. Dua hari sebelum pendakian kami mengurus perizinan ke Keucik Gampong Suka Makmur, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, karena dalam tim terdapat perempuan Pak Keucik mengarahkan kami untuk berkomunikasi dengan sebuah komunitas pecinta alam baru yang bernama KOMPAS (Komunitas Pecinta Alam Seulawah Sare) sebagai pengelola pendakian Gunung Seulawah Agam saat ini.
Setelah menempuh perjalanan dari Banda Aceh kami tiba di Sare ba’da Magrib. Kami berkomunikasi dengan anggota KOMPAS dan akirnya kami ngecamp di Alur Beton Pintu Rimba. Ternyata hari itu bukan hanya tim saya yang melakukan pendakian, melainkan ada tiga tim, satu tim dari Singkil yang sudah terlebih dahulu naik dan ngecamp di Pintu Angin dan ada dua tim lagi dari Aceh Tamiang dan Sigli yang akan naik besok pagi.
Pagi pukul 09:00 WIB setelah sarapan pagi kami memulai pendakian dan seperti biasa sebelum mendaki kami berdoa terlebih dahulu. Kaki pun mulai melangkah, track pertama kami tidak mengikuti jalur baru yang ada saat ini, tapi kami memulai dengan jalur lama yang sudah mulai tertutup oleh semak-semak, setelah beberapa menit berjalan kami baru berjumpa dengan jalur utama. Targetnya, kami akan makan siang di Pintu Angin dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju Puncak.
Awal kami berjalan semua berjalan normal. Suara Owa bersaut-sahutan menemani perjalanan kami dan sesekali terdengar suara sayap burung Rangkong terbang tepat diatas jalur pendakian. Kami sangat menikmati suasana pagi itu, tapi setelah 20 menit berjalan suasana sudah sedikit berbeda, kami mulai melihat sampah permen, coklat, rokok berserakan di jalur pendakian. Saya mengintruksikan tim untuk memilih semua sampah yang dijumpai di jalur pendakian.
Satu persatu sampah kami ambil dan karena jumlahnya belum banyak kami hanya memasukan kedalam kantong celana. Kami terus berjalan dan sampah semakin banyak, bolot minuman air mineral dari ukuran kecil sampai besar, botol susu kaleng, botol minuman berenergi terus kami jumpai di hampir sepanjang jalur menuju Pintu Angin. Selain sampah, saya juga memotong stinglen di beberapa pohon.
Stinglen adalah istilah yang kami sebutkan sebagai penanda jalur, stinglien biasa terbuat dari tali yang berkukuran 30 cm dan diikat dipohon. Saya memotong stinglen dengan pisau karena cara pasang stinglen yang tidak benar dan dapat mencidrai pohon. Seharusnya stinglen tersebut tidak diikat mati, tapi cukup diikat dengan simpul jangkar karena kalau pohonnya bertambah besar makan stinglen tersebut tidak menghambat pertumbuhan pohon.
Setelah tiga jam perjalanan kami tiba di Pintu Angin. Kenapa Namanya pintu angin karena di daerah tersebut merupakan jalur masuknya angin kedalam hutan. Kami istirahat dan masak. Saya mulai memotong-motong sampah yang kami jumpai dijalur dan memasukkan kedalam bolot air mineral besar. Disini kami berjumpa rombongan pertama yang ngecamp di Pintu Angin dan kami juga berjumpa dengan rombangan kedua dari Aceh Tamiang, tapi mereka tidak berhenti di Pintu Angin, mereka terus malanjutkan perjalanannya.
Seletah istirahat dan makan kami melanjutkan perjalanan sambil tetap memilih sampah di jalur pendakian. Setelah beberapa menit kami tiba di sebuah tempat landai dan mendapatkan sampah berserakan dan menumpuk serta tali plastik yang bergelantungan di pepohonan. Dengan cepat kami membersihan semua sampah tersebut.
Setelah semua sampah kami kumpulkan dan kami memasukkannya ke dalam kantong pelastik dan kami perkirakan sampah tersebut sebanyak 10 kg. Kami menyembuyikan sampah tersebut di belakang pohon karena kami tidak mungkin membawa sampah dengan berat 10 kg ke puncak. Jadi kami akan membawa pulang sampah tersebut pada saat turun nanti. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Beringin Tujuh, kenapa namanya Beringin Tujuh, karena disana terdapat tujuh pohon beringin yang berkuran sangat beras, walaupun sekarang ada beberapa yang sudah tumbang.
Menurut beberapa cerita, daerah ini termasuk daerah yang sedikit angker, kenapa? Karena di bawah pohon beringin tersebut tempatnya sangat bersih seperti ada orang yang membersihkan. Tapi itu dulu, sekarang daerah ini menjadi tempat tumpukan sampah. Lagi, kami membersihkan dan membungkus sampah tersebut dan kami meningalkan dan akan mengambilnya pada saat turun nanti. Sebanyak 10 kg sampah kami kumpulkan disini.
Kami melanjutkan pendakian, setelah melewati Beringin Tujuh kami berjalan di track Tangga Batu dan suasana sudah mulai gelap, istirahat sejenak karena memasuki waktu magrib dan kemudian kami melanjutkan perjalanan melewati Batu Gajah dan mendapati rombangan dari Aceh Tamiang ngecamp didekat Batu Gajah. Sekitar pukul 20:00 malam kami tiba di puncak Gunung Seulawah Agam. Kami ngecamp di samping kanan pilar. Keesokan harinya, kami baru menyadari ternyata ada tempat sampah disudut semak-semak.
Tempat sampah di Puncak Gunung untuk apa? Sampah dipuncak beragam jenis, mulai dari tabung gas portebel, panci ricecooker, kain sarung, baju, kaus kaki, spanduk, bivak, terpal, kecap, minyak goreng, botol air mineral, bekas sayur-sayuran, tisu, jeregen dan tali plastik yang terikat di pohon. Kami membersihakan dan mengumpulkan sampah tersebut yang beratnya hampir 25 kg dan memasukkannya dalam tepal hitam.
Kami membuat tandu untuk menurunkan sampah tersebut karena terlalu berat. Sampah kami ikat diatas tandu.Setelah semua selesai kami baru mengambil dokumentasi di pilar Gunung Seulawah Agam. Pukul 14:00 WIB kami turun dari puncak. Sedikit sulit membawa tandu dengan jalur yang berbatuan dan menurun, tidak jauh berjalan kami membuka tandu dan mulai mengangkat sampah tersebut secara bergantian.
Kami turun dan tiba ditempat rombongan Aceh Tamiang ngecamp dan kami mendapatkan sampah yang mereka tinggalkan di tempat tersebut, sangat memprihatinkan. Mereka meningalkan piring, gelas, tali dan botol air mineral berserakan dimana-mana. Kami sudah berniat mengejar rombangan ini yang lebih dulu turun dari puncak. Kami memilih semua sampah tersebut dan membungkusnya. Berat sampah yang kami bawa terus bertambah. Sambal turun kami terus mengutip sampah-sampah kecil yang berserakan di jalur.

Kami tiba di Beringin Tujuh dan di atas Pintu Angin lalu mengambil sampah yang sudah kami bungkus kemarin. Terus berjalan kami tiba di Pintu Angin dan kami juga dapatkan banyak sekali sampah yang ditingalkan dan sampah yang dibuang di jurang didepan Pintu Angin.
Kami mempacking ulang sampah tersebut agar mudah untuk kami bawa turun. Setelah semua sampah terpacking rapi, masing masing kami sudah memiliki sampah yang siap dibawa turun, dengan perkiraan berat mencapai 100 kg. Setelah 2 jam perjalanan kami tiba di Gampong dan memberikan sampah-sampah tersebut kepada komunitas KOMPAS sebagai pengelola pendakian Gunung Seulawah Agam saat ini.

Sampah yang paling banyak kami jumpai adalah Botol air mineral berbagai ukuran (kecil, sedang, besar), tali plastik, bungkus permen, bungkus minuman saset, bungkus rokok, bungkus cokelat, bungkus madu rasa, bungkus mie instan, bungkus roti, bungkus susu, botol susu, botol minuman berenergi, kaleng susu, tabung gas portable, panci masak, jeregen 5 liter, sarung tangan, kaus kaki, spanduk, terpal, bivak, minyak goreng, kecap, plastik kresek, dan masker.

Apabila Gunung Seulawah Agam ingin dijadikan gunung wisata, maka harus punya pengelolaan dan manajemen yang baik, tidak hanya masalah sampah, tapi juga masalah pengetahuan dan manajemen pendakian agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Fenomena sampah di gunung adalah sebab dari kurangnya pengetahuan dan tidak adanya etika pendaki sehingga tanpa rasa bersalah mereka meninggalkan apapun selama pendakian.

Trend mendaki gunung hanya untuk memenuhi kebutuhan media sosial yang ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa saya sudah mendaki dan menaklukkan gunung. Sehingga menjadi kebanggaan untuk dirinya sendiri agar dianggap hebat. Seharusnya mendaki gunung bukan soal menaklukkan gunungnya, tapi menaklukkan ego sendiri.
Saat di gunung tengah hutan rimba, kita tidak ada bedanya dengan semut yang hidup disana, sangat kecil. Maka dari itu mendaki mengajarkan kita bersyukur dan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta.
Penulis : Ikhsan
Anggota MAPALA UNMUHA Aceh