Sedikitnya 500 mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar aksi di Simpang Lima Banda Aceh dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa (24/9/2019). Mereka menolak revisi Rencana Undang-undang Pertanahan dan isu nasional lainnya.
Aksi berlangsung tertib, namun mengundang perhatian warga yang sedang melintas di kawasan padat lalulintas tersebut. Peserta aksi selain berorasi juga membawa sejumlah poster dan spanduk di bawah pengawalan pihak kepolisian.
Salah satu spanduk bertuliskan “Tolak RUU Pertahanan”. Spanduk lain yang dituliskan di kain putih menggunakan tangan “Tolak Alih Fungsi Lahan” dan “Reforma Agraria Harga Mati”.
Setelah berorasi sekitat 30 menit di Simpang Lima, Banda Aceh. Peserta aksi berjalan kaki menuju gedung DPRA dengan jalan kaki jarak sekitar 500 meter. Di sana mereka meminta pemerintah Aceh agar setiap kebijakan harus berpihak kepada petani.
Di gedung DPR Aceh massa kembali berorasi, menyampaikan aspirasinya. Agar pemerintah Aceh dan juga pusat berpihak kepada petani kecil. Selama ini regulasi yang ada, seperti RUU Pertanahan bersifat melemahkan dan mengurangi hak-hak petani.
“Kita menolak RUU Pertanahan dan juga menolak sistem budidaya pertanian yang melemahkan petani kecil,” kata Koordinator Aksi, Sidiq Mubarak, Selasa (24/9/2019) dilansir merdeka.com.
Menurutnya sejumlah regulasi dan RUU yang sedang dibahas oleh pemerintah antara eksekutif dan legislatif kebanyak tidak berpihak kepada masyarakat. Terutama RUU Pertahanan yang hanya menguntungkan pihak perusahaan.
“Sementara petani kecil dirugikan dan sangat berpihak kepada perusahaan dan pemerintah,” ungkapnya.
Selain itu massa juga meminta pemerintah Aceh agar mengeluarkan moratorium tambang. Mereka menilai tambang di Aceh tidak bisa mensejehterakan rakyat. Oleh sebab itu izin beberapa perusahaan tambang yang hendak beroperasi di Aceh agar dibatalkan perizinannya.
“Makanya diperlukan DPRA itu segera membuat Qanun Pertanahan di Aceh,” pintanya.
Massa juga menyoroti Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau dan sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Menurut Sidiq, apa yang terjadi di sana bukan terbakar lahnnya, tetapi ada pihak tertentu yang sengaja membakar lahan tersebut.
Oleh sebab itu, Sidiq meminta pemerintah pusat agar mengusut tuntas aktor intelektual Karhutla di sana. “Bayangkan asap sekarang sudah sampai ke Aceh. Makanya usut tuntas dan proses hukum pelaku pembakaran,” pintanya.
Hingga berita ini diturunkan massa masih bertahan di gedung DPR Aceh untuk menyampaikan aspirasinya. Massa semua berkumpul di pelataran parkir gedung dewan tersebut sambil terus berorasi.
Sementara itu Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, meningkatkan pelayanan secara cepat dan transparan, Kementerian ATR/BPN menggagas program transformasi digital. Dimana layanan pertanahan dapat diakses oleh masyarakat secara elektronik.
“Layanan pertanahan saat ini dapat diakses oleh masyarakat secara elektronik dari mana saja dan kapan saja sehingga menjadi efektif, efisien dan transparan,” kata Nova Iriansyah.
Empat layanan elektronik meliputi: Hak Tanggungan, Layanan Informasi, Zona Nilai Tanah, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dan Informasi Bidang Tanah sudah mulai bisa diakses.
“Layanan elektronik akan terus ditambah sehingga motto Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional kini lebih baik akan benar-benar terwujud,” katanya.
Nova menyampaikan, Rancangan Undang-Undang Pertanahan diharapkan dapat menyempunakan aturan pertanahan yang sudah ada. Serta memberikan kepastian hukum yang lebih baik, sehingga dapat menjadi payung hukum bagi perbaikan layanan pertanahan yang maju dan modern.
Pemerintah, kata Nova, optimis bahwa di tahun 2025 Kementerian ATR/BPN menjadi institusi pelayanan berstandar dunia akan terwujud dengan target seluruh bidang tanah terdaftar dan digitalisasi seluruh arsip dan warkah selesai.