Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2019 – 2024 dilantik, Senin (30/9/2019) dalam ruang sidang paripurna. Proses pelantikan dijadwalkan berlangsung sejak pukul 09.00 WIB hingga selesai.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyoroti komposisi jumlah anggota DPRA perempuan periode ini menurun dibandingkan sebelumnya. Pada periode sebelumya kalangan perempuan yang terpilih menjadi anggota perlemen berjumlah 12 orang, sedang periode ini hanya 9 orang.
“Ini menjadi tantangan sendiri bagi anggota DPRA dari kalangan perempuan,” Koordinator Bidang Hukum dan Politik, MaTA, Baihaqi, Senin (30/9/2019).
Kendati demikian, Baihaqi berharap kehadirannya dapat memberi warna untuk mendorong perubahan. Anggota DPRA periode ini harus lebih terasa kehadirannya dibandingkan pada periode sebelumnya.
Baihaqi juga menyampaikan bahwa, ini merupakan langkah awal bagi anggota DPRA terpilih untuk bekerja memperjuangkan aspirasi konstituennya dan masyarakat Aceh secara keseluruhan.
DPRA terpilih harus memiliki dan menanamkan komitmen antikorupsi dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Harus harus mampu melahirkan solusi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak diskriminatif untuk menjawab setiap kegelisahan masyarakat.
“Dan yang paling penting adalah peka terhadap kondisi ril di lapangan,” tukasnya.
Disisi lain, MaTA juga berharap DPRA baru ini harus mampu melepas diri oligarki partai. Tanpa itu, jangankan perubahan besar yang dijanjikan saat kampanye dulu, perubahan kecil pun takkan mampu dilakukan. Selama ini MaTA melihat, DPRA bukanlah orang yang bebas dalam pengambilan keputusan tapi sudah diatur sedemikian rupa oleh partai.
Katanya, berdasarkan daftar anggota DPRA terpilih yang telah dirilis oleh KIP Aceh, peta dominasi partai politik sudah berubah. Perubahan itu hal yang lazim dalam demokrasi.
Karena hal terpenting adalah bagaimana anggota dewan baru ini melakukan konsolidasi bersama untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dan benar-benar menjadi lembaga yang mengawasi kerja-kerja pemerintah.
Selama ini MaTA melihat, keberadaan DPRA secara kelembagaan telah menjalankan 3 fungsi yang melekat padanya, fungsi pengawasan, fungsi legislasi dan fungsi budgeting.
“Namun, itu semua belum dilakukan secara optimal. Kesannya selama ini, DPRA menjadi “stempel” pemerintah tanpa dibarengi kekuatan opisisi yang kuat,” imbuhnya,
Sebagai contoh, sebutnya, usulan anggaran untuk tahun 2020 yang diajukan pemerintah yang tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2020. Pengesahannya tanpa ada mekanisme pembahasan yang ketat oleh DPRA sehingga memberi kesan DPRA “meng-iya-kan” semua usulan yang disampaikan oleh pemerintah.