Aksi menolak perusahaan tambang di Aceh nyaris ricuh di kantor Gubernur Aceh, Kamis (5/9/2019). Mahasiswa sempat membakar keranda dan karton, karena Plt Gubernur, Nova Iriansyah tak kunjung menjumpai demontran.
Saat racun api pertama disemprotkan oleh petugas kantor gubernur, mahasiswa sempat menghalang dan nyaris ricuh dengan aparat keamanan. Sejurus kemudian racun api diambil oleh personel kepolisian. Asap putih pun mengepul hingga massa aksi tampak sempat mundur dan api berhasil dipadamkan.
Aksi demo itu diikuti oleh puluhan mahasiswa asal dataran tinggi Gayo memprotes keberadaan tambang PT Linge Mineral Resource (PT LMR). Perusahaan Penaman Modal Asing (PMA) itu hendak membuka tambang emas seluas 9.684 hektare.
Perusahaan jenis produksi penambangan dan pengolahan biji emas itu berada di empat gampong yaitu Linge, Penarum, Owaq dan Lumut di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.
Korlap aksi, Meli Saputri mengatakan, kawasan Linge diyakini oleh masyarakat sebagai awal peradaban rakyat Gayo. Ada banyak situs peninggalan sejarah yang masuk dalam kawasan PT LMR tersebut. Seperti makam Reje Linge dan berbagai artefak lainnya.
“Dengan hilangnya situs ini mengakibatkan hilangnya pemahaman generasi selanjutnya tentang peradaban Gayo,” kata Meli Saputri.
Selain itu, sebutnya, beroperasinya perusahaan tambang ini bakal berdampak terhadap lingkungan. Apa lagi tambang terbuka seperti direncanakan oleh PT LMR itu, tentunya semua pohon bakal ditebang dan tanah dilubangi.
“Sedangkan di hutan produksi akan dilakukan metode bawah tanah, siapa yang bisa menjamin tidak longsor,” tukasnya.
Oleh karena itu, sebut Meli, mahasiswa menolak PT LMR beroperasi di tanah Gayo dan meminta pemerintah Aceh agar tidak memberikan rekomendasi kelayakan lingkungan, tidak menerbitkan izin lingkungan.
“Kami minta sikap Plt Gubernur Aceh agar secara tegas menyampaikan penolakan terhadap beroperasinya PT LMR tersebut,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Muhammad Nur mengaku alasan utama menolak tambang emas PT LMR Demi kepentingan lingkungan hidup, HAM, dan sosial budaya. Penolakan ini dilakukan berdasarkan investigasi ditemukan sejumlah data dapak beroperasinya perusahaan tersebut.
“Kehadiran PT. LMR berdampak serius terhadap lingkungan hidup, HAM, dan sosial budaya. Lokasi izin PT. LMR berada di dataran tinggi Gayo yang merupakan kawasan hulu dari sub daerah aliran sungai (DAS) Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun,” kata Muhammad Nur.
Tentunya kondisi ini, sebutnya, cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Selain itu, juga akan berdampak terhadap objek wisata danau Laut Tawar yang merupakan bagian dari hulu DAS Peusangan. Termasuk sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang ada di kabupaten Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara.
“Akan menjadi ancaman terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk hidup sehat dan bersih dengan mendapatkan air yang berkualitas tanpa terkontaminasi oleh racun B3,” tukasnya.
Proses perizinan perusahaan tambang itu bermula tahun 2006, Bupati Aceh Tengah menerbitkan kontrak karya kepada PT. LMR. Lalu tahun 2009 PT LMR disesuaikan ke Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dengan luas areal 98.143 ha.
Berdasarkan pengumuman rencana AMDAL yang diumumkan pada 4 April 2019, luas areal yang diusulkan menjadi 9.684 ha yang berlokasi di Proyek Abong, desa Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun, Kecamatan Linge dengan produksi maksimal 800.000 ton/tahun. Berdasarkan data Planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh dari luas 9.684 ha, 7.678 ha di antaranya berada di Hutan Produksi, sedangkan sisanya berada di APL.
“PT. LMR berstatus penanaman modal asing (PMA) yang merupakan anak perusahaan dari East Asia Mineral dari Canada selaku pemegang saham 80 persen,” ungkap Muhammad Nur.
Menurut Muhammad Nur, keberadaan perusahaan ini berdampak terhadap wilayah kelola masyarakat di Kecamatan Linge, terdiri dari 1.640 ha lahan sawah, 370 ha tegal, 450 ha ladang, dan 2.975 ha perkebunan. Sesuai qanun tata ruang Aceh Tengah Nomor 2 tahun 2016, empat desa yang berdampak langsung dengan tambang merupakan wilayah pemanfaatan daerah irigasi seluas 395 ha.
Dalam qanun tata ruang juga ditetapkan Kecamatan Linge merupakan kawasan pengendalian daya rusak air meliputi Krueng Jambo Aye dengan panjang 8.816,10 m di Kecamatan Linge meliputi, kampung Reje Payung, Delung Sekinel, Kute Reje dan Owaq. Juga merupakan kawasan cekungan air tanah (CAT) dan sistem penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana. Ke empat desa tersebut memiliki jumlah penduduk sekitar 2.373 jiwa, sekitar 1.115 jiwa di antaranya merupakan perempuan.
“WALHI Aceh menolak tambang PT. LMR di Aceh Tengah, WALHI Aceh tidak ingin ada danau “Laut Tawar” kedua di Aceh Tengah akibat pertambangan di PT. LMR. Masyarakat Gayo tidak akan hidup sejahtera dengan tambang, tapi sejarah telah membuktikan bahwa komoditas kopi merupakan produk unggulan di Gayo. Janji kesejahteraan melalui terbukanya lapangan kerja hanyalah janji bohong, masyarakat lokal akan menjadi buruh tambang,” tukasnya.
Untuk itu, WALHI Aceh mendesak Pemerintah Aceh Tengah dan Pemerintah Aceh untuk tidak mengeluarkan rekomendasi kelayakan lingkungan dan tidak menerbitkan izin lingkungan kepada PT. LMR. “Jikapun dipaksakan untuk menerbitkan izin lingkungan, maka WALHI Aceh bersama masyarakat akan melakukan upaya hukum untuk membatalkan izin tersebut,” tutupnya.(merdeka.com)