Syukri (43) tampak tekun membuat sandal berbahan baku tikar pandan. Meskipun punya keterbatasan, tak membuat surut semangatnya agar mandiri secara ekonomi. Dari penghasilan dimiliki, mampu menghidupkan dua si buah hatinya.
Dia bukan sendiri. Ada lima rekannya yang juga disabilitas ikut membuat sandal indoor yang dipasarkan di seluruh Aceh. Mereka semua berkumpul dalam wadah perdana Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh (FKMBKA) Kabupaten Pidie.
Tikar pandan menjadi bahan baku utama membuat sandal yang biasa dipergunakan dalam hotel ini. Setiap hari mereka bisa memprosuksi hingga 100 pasang sandal. Harganya pun cukup terjangkau, antara Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per pasang.
Syukri berkisah. Kemampuan membuat sandal indoor ini dipelajari secara otodidak. Baginya, keterbatasan bukan penghalangan untuk berkarya. Meskipun tangan kanannya kecil akibat polio sejak Sekolah Dasar, semangatnya agar mandiri secara ekonomi tak pernah pupus.
“Berkat kegigihan dan semangat, usaha ini telah sedikit membantu perekonomian,” kata Syukri sambil menyilakan kunjungan naratif.id. Selasa (15/10/2019).
Ayah yang memiliki dua orang anak ini juga berprofesi sebagai tukang reparasi alat elektronik. Tanggung jawab itu ditambah lagi dengan dipercayakan sebagai ketua FKMBKA Kabupaten Pidie tahun 2015, kini ia telah beranggotakan sebanyak 80 orang.
Tahun 2018 menjadi awal usaha komunitas, dari ide Rahmah Masturah (pegiat sosial Oen Seukee Project), dan belajar mendesain produk sandal secara otodidak dengan peralatan seadanya.
“Modal secara repei (patungan) untuk segala kebutuhan kerja, sampai saat ini belum ada bantuan dari Pemkab Pidie untuk menunjang usaha komunitas Disabilitas ini,” kisah Syukri.
Berkat kerja keras, hasil karya mereka telah diboyong untuk ditampilkan pada beragam even seperti oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Kabupaten Pidie. Pernah juga dipajang pada salah satu kegiatannya di Takengon, juga dipajang oleh KADIN Pidie dan DPMG Pidie pada MTQ Aceh XXXIV di Kabupaten Pidie kemarin.
Ruko (rumah toko) berukuran sekitar 4×12 m yang disewa atas namanya di Jalan Diponegoro, No. 3 Blok Bengkel, Kota Sigli, Kabupaten Pidie menjadi tempat mereka beradu nasib. Produk hasil komunitasnya telah menembus pasar souvenir di Banda Aceh dan ada beberapa pesan dari Pulau Jawa, terutama Yogyakarta.
“Saling mendukung, ibarat keluarga saja kehidupan di sini, dan kami juga ingin kondisi ini hadir dalam keseharian,” harap Muhammad (54), salah satu anggota yang juga berprofesi tukang pijat.
Ia juga berharap agar pemerintah memperhatikan keberadaan disabilitas. Pihaknya membutuh bantuan untuk dapat hidup seperti masyarakat yang normal.
Sementara itu, Nurwan selaku Kabid Koperasi dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Pidie, dihubungi via seluler mengakui belum adanya bantuan untuk kelompok disabilitas tersebut (FKMBKA, red).
Syukri bersama komunitasnya telah membawa pesan bahwa kekurangan bukan alasan untuk berkarya. Kini, mereka juga giat bersosialisasi tentang keberadaan penyandang disabilitas pada masyarakat luas yang patut dihargai dengan kesetaraan.[]
Reporter: Mahzal