Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga, yang berlangsung di Gedung Utama DPRA Kamis, (01/08/2019). Diikuti oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota ,Unsur Ulama ,tokoh perempuan dan para pihak terkait lainnya.
Ketua DPRA, Muhammad Sulaiman mengatakan, Aceh telah diberikan keistimewaan dalam penyelenggaraan syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
“Bagi masyarakat Aceh, mengatur, membina dan melaksanakan hubungan keluarga mempunyai karaktaristik tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan Syariat Islam,” katanya.
Sulaiman juga menyampaikan, hukum-hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan yang sudah ada dan berlaku secara nasional. Belum mampu mengatur, membina, menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Berdasarkan amanat Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, ketentuan lebih lanjut mengenai Pernikahan, Pemutusan Hubungan Pernikahan, dan Warisan (mawaris) dapat diatur dalam Qanun Aceh.
“Karena itu Pemerintah Aceh merasa perlu membentuk Qanun Aceh Tentang Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah) ini, untuk menjamin perlindungan hak bagi suami, istri, dan anak dalam keluarga,” jelas Ketua DPRA.
Hal yang sama juga dikatakan Gufron Ketua komisi VII DPRA yang memimpin RDPU Raqan Qanun Keluarga Adapun dibuatnya aturan hukum keluarga ini yaitu untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, kekal, berdasarkan nilai-nilai islami serta memberikan kepastian hukum.
Ia menegaskan masyarakat atau publik selama ini salah menilai Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga yang didalamnya terdapat bab poligami. Padahal dalam qanun tersebut, memiliki aturan ketat yang harus dilakukan. Selain itu, Qanun Hukum Keluarga justru memberikan perlindungan kepada anak dan juga istri.
“Lebih dari satu istri harus melalui Mahkamah Syar’iyah. Jadi jangan salah diartikan,” kata Ghufran.
Bahkan untuk pernikahan siri yang selama ini sudah terjadi, akan dijadikan pelanggaran dan mendapatkan sanksi. “Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 8, yaitu siapa pun yang terlibat dalam pernikahan dan tidak tercatat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 187. Dengan maksimal hukuman cambuk 25 kali,” jelasnya.
Dalam BAB XXV tentang aturan sanksi Raqan tersebut, pasal 187 disebutkan pada pasal 1 “setiap orang yang melanggar ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 dikenakan sanksi denda paling rendah 20 gram emas murni 24 karat dan paling tinggi 100 gram emas murni 24 karat atau hukuman cambuk serendah-rendanya 13 kali cambuk dan setinggi-tingginya 25 kali cambuk.”
Sedangkan bunyi pasal 8 ayat 2 berbunyi “pelasanaan pernikahan dan pencatatan pernikahan dilarang dilakukan oleh orang yang tidak berwewenang, termasuk qadhi liar”.
Harus diketahui, timbulnya Qanun Hukum Keluarga ini adalah untuk memberikan ketertiban dalam memenuhi hak istri dan perlingunan anak yang lebih baik. Dari semua pasal yang ada dalam Qanun Keluarga, merupakan filosofi dan semangat untuk ketahanan rumah tangga di Aceh.
“Yaitu untuk memperkuat keluarga dan mengurangi terjadinya perceraian. Jadi persepsi yang selama muncul salah, semangat kita adalah untuk melindungi perempuan, tidak ada nikah siri, melindungi anak-anak dan memenuhi haknya serta menertibkan praktek pernikahan liar yang selama ini banyak terjadi,” ungkapnya lagi.
Ghufran berharap, dengan adanya Qanun Hukum Keluarga. Kedepan tidak ada lagi pernikahan liar. Jika pun kedapatan, maka pernikahan liar itu akan dikenakan sanksi berupa denda 20 gram 100 gram atau dikonvensi hukum cambuk sebanyak 15 sampai 25 kali.
“Untuk itu kita berharap praktik pernikahan yang tak ketahui, tidak aka ada lagi di Aceh,” sebutnya.
Katanya, Raqan ini sempat heboh. Padahal semua ada aturan yaitu, melalui mahkamah dan ada syarat-syaratnya serta kriterianya yang diatur pada Pasal 7, 8, 9.
Ada syaratnya yang harus dilengkapi di Mahkamah Syar’iyah, sebutnya, dan ada kewenangan hakim dengan mempertimbangkan apakah laki-laki ini bisa diberi izin untuk beristri lagi.
“Intinya, setelah mendengar rapat dengar pendapat ini, tim pembahas rancangan Qanun Keluarga akan kembali melakukan penyempurnaan. Masukan-masukan akan kita perbaiki, semua masukan kita pertimbangkan dan kita berharap bisa selesai bulan September 2019,” tegasnya.
Kita tentu mengetahui bersama bahwa rancangan qanun ini mendapat perhatian secara nasional dan regional. Tentu banyak yang beranggapan aturan yang diatur dalam BAB IX, mulai dari pasal 46 sampai dengan pasal 50 belum saatnya diberlakukan.
“Namun sebenarnya ada sanksi yang tegas apabila dilanggar,” tambahnya.
Selain itu, Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum Keluarga banyak pro dan kontra, namun pada hari ini mari sama-sama semua pihak mendengarkan masukan dan pendapat dari masyarakat secara terbuka.[]