Kerugian Negara akibat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sepanjang tahun 2018 di Aceh mencapai Rp 398 miliar lebih. Kerugian tersebut setara dengan 4984 unit rumah dhuafa bila dibangun.
“Jumlah tersebut belum termasuk 10 kasus yang masih dalam proses audit oleh BPKP, 6 kasus OTT Saber Pungli, 1 kasus gratifikasi dan 1 kasus suap,” kata Koordinator Bidang Hukum dan Politik di LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Baihaqi, Rabu (9/1/2018) di Banda Aceh.
Kata Baihaqi, kasus Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) merupakan kasus kerugian terbesar yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dengan nilai Rp 51 miliar. Sedangkan kasus kerugian terbesar kedua ditangani oleh kepolisian tentang pengadaan ternak di Kota Lhokseumawe mencapai Rp 8.1 miliar.
Sedangkan aktor yang paling banyak terjerat Tipikor di Aceh masih mendominasi dari lembaga eksekutif dan swasta. Modus operandi yang dilakukan beragam, namun yang dominan memanipulasi atau proyek fiktif bersumber Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Sejak 2017 hingga 2018 MaTA fokus melakukan pemantauan indikasi korupsi ditingkat penyidikan. Pada tahun 2018 kasus indikasi korupsi yang ditangani penegak hukum 41 kasus, tahun 2017 hanya 33 kasus.
Kasus yang ditangani Kejaksaan 22 kasus, kepolisian 16 kasus dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3 kasus pada tahun 2018. Sedangkan tahun 2017 lalu, kejaksaan 18 kasus dan kepolisian 15 kasus.
Sedangkan KPK baru tahun 2018 melakukan penindakan. Pada tahun 2017 lalu KPK tidak ada melakukan penindakan, karena masih dalam proses supervisi dan pencegahan.
Jumlah tersangka Tipikor tahun 2018 sebanyak 86 orang, naik dibandingkan tahun 2017 sebanyak 78 orang. Berdasarkan data hasil monitoring MaTA, eksekutif dan swasta yang paling banyak terjerat Tipikor.
Pada tahun 2017 eksekutif terjerat korupsi sebanyak 38 kasus, meningkat drastis tahun 2018 menjadi 51 kasus. Sedangkan pihak swasta tahun 2017 ada 30 kasus, tetapi mengalami penurunan pada tahun 2018 hanya 26 kasus.
Selain itu yang relatif tinggi terjerat korupsi di Aceh adalah perangkat desa. Pada tahun 2017 lalu ada 10 kasus, turun dibandingkan tahun 2018 hanya 6 kasus. MaTA menilai, tingginya kasus korupsi tahun 2017 karena baru diluncurkan program dana desa.
“Tingginya tersangka pihak eksekutif dan swasta karena sering bersekongkol antara kedua,” kata Baihaqi.
Modus operandi yang sering dilakukan dalam Tipikor ini mayoritas proyek fiktif atau memanipulasi anggaran daerah. Ini bisa dilihat berdasarkan temuan MaTA pada tahun 2018 ada 11 kasus dan 2017 ada 10 kasus proyek fiktif.
Selebihnya penggelapan 2018 ada 5 kasus, 2017 ada 10 kasus, pungli 2018 ada 6 kasus, 2017 ada 4 kasus. Lalu mark up 2018 ada 5 kasus dan 2017 hanya 1 kasus. Pemotongan harga tahun 2018 ada 3 kasus dan 2017 hanya 2 kasus, penyalahgunaan anggaran 2018 hanya 1 kasus, 2017 naik menjadi 4 kasus, tidak sesuai spek tahun 2018 ada 7 kasus dan 2017 hanya 2 kasus .
“Modusnya yang paling banyak itu fiktif,” tukasnya.
Untuk meminimalisir dan mengurangi terjadi Tipikor di Aceh. Baihaqi mengajak semua pihak, terutama media massa untuk terus melakukan pemantauan. Bila peran media kuat dalam melakukan pemantauan, bisa menekan angka Tipikor di Aceh.
”Peran media penting untuk melakukan pengawalan. Kalau peran media lemah, kejaksaan juga bisa jadi lemah dalam melakukan penyelesaian kasus,” tutupnya.