Bencana hidrometeorologi masih cukup tinggi terjadi di Indonesia, seperti banjir, longsor, angin puting beliung. Ini terjadi akibat masih tingginya laju kerusakan hutan dan deforestasi, tanpa ada upaya melakukan reboisasi dan penanggulangan yang baik.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana hidrometeorologi di Indonesia kurun waktu 16 tahun terakhir terus meningkat. Tertinggi bencana hidrometeorologi di Indonesia pada tahun 2017 lalu mencapai 2.865 kejadian.
Turun dibandingkan tahun 2018 bencana hidrometeorologi sebanyak 3.572 kasus. Namun bila lihat trend kejadian bencana hidrometeorologi terjadi peningkatan sejak tahun 2003 lalu.
Pada tahun 2003 lalu kejadian bencana hidrometeorologi hanya 403 kasus, terus menunjukkan peningkatan tahun berikutnya. Pada tahun 2004 menjadi 755 kasus, 2005 ada 499 kasus, 2006 naik menjadi 740 kasus.
Angkanya terus meningkat. Pada tahun 2007 menjadi 816 kasus, 2008 naik menjadi 1.073 kasus, 2009 naik 1.246 kasus dan 2010 terus meningkat jadi 1.941 kasus.
Trennya pun terus mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 1.633, 2012 ada 1.811, 2013 naik 1.874, 2014 menjadi 1.967. angkanya terus mengalami peningkatan, tahun 2015 sebanyak 1.732 kasus dan makin bertambah hampir dua kali pada tahun 2016 menjadi 2.384 kasus.
Berdasarkan data dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dirilis tahun 2016 lalu. Laju kehilangan hutan di Indonesia seluas 684.00 hektar setiap tahunnya akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alih fungsi hutan. Akibatnya bencana hidrometeorologi terus mengancam nusantara.
Seperti dikutip dari kompas.com, berdasarkan data dari Global Forest Resources Assessment (FRA), Indonesia menempati peringkat kedua dunia tertinggi kehilangan hutan setelah Brasil yang berada di urutan pertama. Padahal, Indonesia disebut sebagai megadiverse country karena memiliki hutan terluas dengan keanekaragaman hayatinya terkaya di dunia.
Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia, total luas hutan saat ini mencapai 124 juta hektar. Tapi sejak 2010 sampai 2015, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi kehilangan luas hutannya yang mencapai 684.000 hektare tiap tahunnya.
Padahal hutan Indonesia dulunya dikatakan terbesar setelah Brazil dan Cogo, seluas 120 juta hektare. Di dalamnya berisikan 10 persen spesies mamaia dunia, 11 persen tumbuhan dunia, 16 persen spesies burung dunia.
Dilansir mepow.net, kemudian hutan di Indonesia telah dikapling-kapling oleh perusahaan HPH dan setidaknya hingga akhir tahun 2006 lalu. Jumlah HPH di seluruh Indonesia sebanyak 322 perusahaan dengan total areal seluas 28,78 juta hektare.
Areal pengusahaan hutan terbanyak tersebar di pulau Kalimantan yaitu sejumlah 174 unit dengan luas areal 12,83 juta ha, serta paling sedikit di Maluku dan Maluku Utara sejumlah 26 unit dengan luas areal 1,74 juta hektar.
Pengelolaan hutan Indonesia yang tidak menerapkan asas kelestarian kemudian menjadi acaman bagi keanegaragaman hayati. Ancaman tersebut kemudian diperparah dan menjadi serius karena hutan-hutan alam dikonversi hutan, praktek illegal logging, perambahan, kebakaran hutan.
“Bencana hidrometeorologi meningkat karena terkaitnya tinggi laju lahan kritis, deforestasi, kerusakan lingkungan,” kata Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho seperti dikutip dari twitter pribadi semasa hidupnya.
Kendati demikian, kabar gembira sekarang sistem pendataan dan pelaporan bencana di Indonesia sudah semakin membaik. Apa lagi saat ini sudah terbentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Sementara itu bencana yang terjadi di Provinsi Aceh juga semakin mencemaskan. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh (Kalak BPBA), HT Ahmad Dadek mengatakan, jumlah bencana di Aceh meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya.
Sepanjang 2018 terdapat 294 kali kejadian bencana di Aceh dengan total kerugian negara Rp 848,2 miliar. Hal ini meningkat secara signifikan dari tahun 2017 lalu, hanya 185 kejadian bencana, meningkat 64 persen.
Berdasarkan data BPBA, bencana yang mendominasi terjadi di Aceh kebakaran pemukiman warga sebanyak 143 kali. Penyebab kebakaran beragam, bisa akibat arus pendek maupun kebakaran saat warga meninggalkan rumah kosong, tetapi tidak memperhatikan keselamatan.
“Biasanya ini kebakaran saat bulan Ramadan, karena malam sering meninggalkan rumah kosong,” kata H.T Ahmad Dadek, Rabu (2/1/2019) di Aula Kantor BPBA dikutib dari merdeka.com.
Bencana angin puting beliung terjadi sebanyak 93 kali, banjir genangan 90 kali dan kebakaran hutan dan lahan 44 kali kejadian. Longsor 28 kali, banjir bandang 8 kali, gempa bumi 9 kali, abrasi, erosi dan sedimentasi sebanyak 12 kali kejadian.

Kabupaten Aceh Tenggara daerah yang sering diterjang banjir bandang dan banyak mengalami kerugian. Bahkan dalam bulan Desember 2018 ini, sudah 4 kali kejadian banjir bandang.
Banjir bandang dan genangan telah berdampak kerugian material yang signifikan, mencapai Rp 600,3 miliar yang terdiri dari banjir genangan Rp 484,9 miliar dan banjir bandang 115,4 miliar.
Berdasarkan data tersebut, meskipun jumlah banjir bandang hanya 8 kali, namun kerugian Negara cukup tinggi. Ini menunjukkan banjir bandang selain bisa memakan korban jiwa, juga membuat Negara rugi besar akibat banyak infrastruktur yang rusak. Baik itu fasilitas umum, maupun perumahan warga rusak diterjang banjir bandang.
Menurut Ahmad Dadek, banjir bandang yang terjadi di Aceh akibat terjadi perambahan hutan, mengakibatkan serapan air di pegunungan berkurang. Sehingga sungai tak mampu menampung air bah tersebut, mengakibatkan meluap dan terjadilah banjir bandang.
“Bencana banjir adalah mencapai rekornya, termasuk kejadian banjir bandang yang menimbulkan paling banyak kerugian baik kepada masyarakat maupun infrastruktur yang ada. Banjir paling banyak disebabkan meluapnya air sungai dan pembalakan liar yang menyebabkan banjir bandang,” jelasnya.
Adapun daerah yang paling banyak terjadi bencana sepanjang 2018 adalah Kabupaten Aceh Besar sebanyak 43 kali, tetapi kerugian Negara hanya Rp 68.5 miliar lebih. Lalu Kabupaten Aceh Timur dengan jumlah bencana 28 kali dan jumlah kerugian Negara Rp 2.210.000.000.
Kabupaten Aceh Utara secara frekuensi kejadian hanya 11 kali, namun kerugian Negara cukup tinggi, yaitu mencapai Rp 239.5 miliar lebih. Berbeda dengan Kabupaten Aceh Besar, meskipun jumlah bencana banyak, tetapi kerugian Negara tidak terlalu besar.
Kemudian disusul Aceh Tenggara Rp 81,9 miliar, Aceh Barat Rp 81,8 miliar, dan Bener Meriah sebesar Rp 63,5 miliar.
Kata Dadek, dampak yang ditimbulkan akibat bencana di Aceh Tahun 2018 sebanyak 30.763 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 110.624 jiwa, pengungsi sebanyak 10.754 KK atau 36.696 jiwa, meninggal dunia akibat bencana sebanyak 46 orang, dan luka-luka sebanyak 33 orang.
“Kebakaran masih menjadi bencana yang paling banyak terjadi, terutama kebakaran pemukiman,” jelasnya.
Dadek tak menampik mengalami kesulitan melakukan penanganan banjir yang terjadi di Aceh. Luasnya wilayah banjir yang harus dikendalikan, membutuhkan anggaran yang besar dan sejumlah kendala lainnya.
Selain itu, sebutnya, sebagian besar sungai besar di Aceh berada di bawah kewenangan pusat. Belum lagi ini diperparah tata kelola lingkungan yang buruk, pembalakan liar dan pembakaran hutan dan lahan.
“Penanganan jangka pendek yaitu mempersiapkan desa tangguh dengan memasukan anggaran desa untuk kebutuhan kesiap-siagaan dan penanganan darurat,” tutupnya.[]