NARATIF.ID
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
NARATIF.ID
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
NARATIF.ID
No Result
View All Result
Home Ficer

Radio Perjuangan yang Terlupakan

RADIO RIMBA RAYA

Redaksi by Redaksi
8 Juli 2019
in Ficer
Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT

Desember 1948, Belanda mengumumkan bahwa Indonesia sudah mereka taklukkan. Ibu Kota Negera, Yogyakarta dan kota lainnya dikuasai, serta pemimpin negera ditawan. Pada saat genting itu, Radio Rimba Raya hadir menyelamatkan republik. Melalui udara Rimba Raya mengabarkan, di Aceh, republik masih berdiri tegak. Namun, setelah 72 tahun merdeka, Radio Rimba Raya terlupakan.

Satu-satu penanda keberadaan Radio Rimba Raya adalah tugu beton yang dibangun di Desa Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Tugu berbentuk pemancar itu terletak di antara rumah penduduk, sekitar 2 kilometer dari jalan Bireueun – Takengon, Aceh Tengah.

Awal November pagi, wajah tugu itu tampak tidak terawat. Catnya mulai kusam, dindingnya dipenuhi coretan, sampah bertebaran, dan ilalang tumbuh memenuhi halaman. Tugu yang diresmikan pada 20 September 1990 oleh Menteri Koperasi RI Bustanul Arifin itu kian tua dan merana.

Tugu itu dibangun untuk mengenang jasa Radio Rimba Raya sebagai radio perjuangan saat mempertahankan kemerdekaan. Namun, tugu itu tanpa didukung legalitas hukum sehingga upaya perawatan masih lemah baik dari sisi anggaran dan aksi nyata lainnya.
Saksi sejarah

Dalam banyak sumber sejarah disebutkan Radio Rimba Raya adalah corong bagi pejuang untuk mengobarkan semangat dan menepis propaganda penjajah. Radio Rimba Raya berdaya pancar 1 kilowatt bekerja pada moda amplitude modulation (AM) gelombang pendek 19,25 kilowatt.

Kepingan sejarah itu diceritakan kembali oleh Teuku Alibasyah Talsya (92) mantan penyiar Radio Rimba Raya kepada penulis, Senin (4/9). Ditemui di rumahnya di Desa Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh, fisiknya terlihat lemah karena dimakan usia.

Namun, dia akan berapi-api saat diajak bicara soal Radio Rimba Raya. Daya ingatnya mulai menurun. Namun, dia menyimpan dengan rapi dokumen dan kliping koran berkaitan dengan Radio Rimba Raya.

Talsya adalah satu-satunya saksi sejarah Radio Rimba Raya yang masih hidup. Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia (TRI), pada masa perjuangan kemerdekaan, dia bertugas di bagian penerangan, salah satunya mengurus Radio Rimba Raya. Jabatan dia kala itu sebagai redaktur pemberitaan.

Peralatan radio berhasil diselundupkan melalui laut timur Aceh. Sempat didirikan di Bireuen, Banda Aceh, dan terakhir diungsikan ke Rimba Raya, Bener Meriah (dulu wilayah Aceh Tengah). Kawasan pegunungan dengan hutan yang lebat sangat strategis menjadi tempat menyembunyikan peralatan.

Talsya masih ingat pada malam 20 Desember 1948 setelah satu hari Belanda merebut Yogyakarta. Sebelumnya Belanda telah mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah takluk. Namun, malam itu, di tengah dinginnya hutan belantara, Talsya, Abdullah Arif, dan beberapa pejuang lainnya menyusun strategi menepis propaganda penjajah.

“Kami buat perlawanan, kami pancarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Di sini (Aceh) salah satu wilayah republik yang masih utuh sepenuhnya,” kata Talsya. Namun, Talsya tidak ingat lagi siapa temannya yang bertugas menyiarkan pesan maha penting itu.

“Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan di sini adalah Aceh” begitu pesan yang disiarkan.

Pesan udara dari Radio Rimba Raya diterima All India Radio yang kemudian disebarkan kepada dunia. Kabar mengejutkan itu sampai ke gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB mengirimkan tiga orang perwakilan ke Aceh untuk verifikasi kebenarannya. Tiga utusan itu perwakilan Australia, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

“Rakyat Aceh menyambut kedatangan utusan PBB dengan meriah. Meriam dibariskan di lapangan Blang Padang, Banda Aceh dan bendera merah putih berkibar di mana-mana. Mereka baru percaya bahwa Indonesia belum menyerah,” kata Talsya.

Setelah mengirimkan utusan ke Aceh, PBB memutuskan bahwa Indonesia masih berdaulat. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda dan Indonesia untuk berunding yang menghasilkan kesepakatan Yogyakarta harus dipulihkan dan Soekarno – Hatta dibebaskan.

Beberapa tahun usai peristiwa itu, Radio Rimba Raya berhenti mengudara. Peralatan radio diangkut ke museum TNI AD di Yogyakarta. Yang tertinggal di Bener Meriah adalah kepingan sejarah yang kian hari semakin kabur digilas waktu.

Legalitas hukum
Talsya merasa sedih terhadap kondisi tugu Radio Rimba Raya tidak terawat. Terakhir dia menyaksikan tugu itu sekitar 10 tahun lalu. Namun, hingga saat ini tugu itu masih dalam kondisi memprihatinkan. “Kurang terpelihara, banyak rumput, padahal jasa Radio Rimba Raya sangat besar mempertahankan republik,” kata Talsya.

Pemerintah Kabupaten Bener Meriah mengusulkan kepada pemerintah pusat dikeluarkan legalitas hukum penetapan tugu itu sebagai monumen perjuangan nasional. Legalitas hukum dianggap penting agar perawatan sejarah radio itu menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah pusat dan daerah.

“Saat ini seolah-olah Radio Rimba Raya hanya milik warga Bener Meriah. Padahal, peran radio itu untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Bener Meriah Irmansyah.

Selama ini perawatan tugu Radio Rimba Raya dibiayai oleh APBD Kabupaten Bener Meriah. Pemkab, kata Irmansyah, menginginkan pemerintah pusat ikut membantu pendanaan perawatan tugu dan pelestarian sejarah radio itu.

Tags: radio perjuanganradio rimba raya
ADVERTISEMENT

Related Posts

Pendidikan Anak Pulau Terluar Terabaikan
Fakta Bicara

Pendidikan Anak Pulau Terluar Terabaikan

1 April 2021
Dedikasi Usman Abdullah, Mangrove Forest Park Raih API Award 2019
Ficer

Dedikasi Usman Abdullah, Mangrove Forest Park Raih API Award 2019

23 November 2019
Maafku  untuk Penjemput Anakku
Ficer

Maafku  untuk Penjemput Anakku

20 November 2019
Protes Mursyidah Berujung Pidana
Ficer

Protes Mursyidah Berujung Pidana

6 November 2019
Menggantungkan Asa dari Kaki Palsu
Ficer

Menggantungkan Asa dari Kaki Palsu

30 Oktober 2019
Rapor Merah untuk Jokowi, Ada Pesan dari Aceh
Ficer

Rapor Merah untuk Jokowi, Ada Pesan dari Aceh

23 Oktober 2019
Next Post
Kampus Cegah Radikalisme

Kampus Cegah Radikalisme

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Masjid Apung Pertama di Pangkep Sulsel

    Masjid Apung Pertama di Pangkep Sulsel

    473 shares
    Share 189 Tweet 118
  • Semiskin Orang Aceh, Masih Bisa Santai di Warung Kopi

    636 shares
    Share 254 Tweet 159
  • Gempa Bumi 5,5 Guncang Aceh

    471 shares
    Share 188 Tweet 118
  • Menag RI: Sikap Nabi Berani dengan Kebenaran Harus Diteladani

    743 shares
    Share 297 Tweet 186
  • Mengenal Dahlan Jamaluddin Ketua DPRA 2019-2024

    625 shares
    Share 250 Tweet 156
NARATIF.ID

© 2019.

  • Beranda
  • Indeks
  • Redaksi
  • Kode Etik

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini

© 2019.