“Dik, mau ngapain? Di sini kotor,” kata seorang perempuan sambil mengimbangi sepeda motor yang dikendarainya. Aroma tak sedap menyambar penciuman, asal baunya tak jauh dari tempat perempuan tadi menyapa penulis.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil besar pengangkut sampah berusaha menanjak hendak melewati kami. Belum habis penulis menjelaskan maksud kedatangannya kemari. Perempuan yang kelihatannya salah satu pekerja di sini akhirnya mengajak penulis mengikutinya dari belakang agar tidak menghalangi mobil sampah yang hendak lewat.
“Ada mobil sampah mau lewat. Apa mau ikut kakak ke atas aja?,” katanya. Setelah menyetujui ajakan perempuan tadi, penulis ikut naik ke atas, tempat yang menyerupai perbukitan dengan gundukan sampah di sekelilingnya.
Setiba di atas, melihat kondisi yang tidak memungkinkan, perempuan berambut panjang itu pun akhirnya mengajak penulis berpindah tempat lagi, kali ini ke rumah miliknya.
Sekitar 1 kilometer dari tempat sebelumnya. Tumpukan botol-botol plastik bekas minuman tergelatak hampir di setiap serambi rumah. Tak ada bunga warna-warni yang terlihat. Bangunan dari teriplek itu terlihat seperti gudang tempat menyimpan barang bekas, bukan layaknya rumah.
Siang itu, di rumahnya, seorang nenek sedang duduk di depan teras bersama tumpukan botol-botol sambil memegang pisau, menyayat pinggir bibir gelas plastik.
Matahari masih terik, perempuan tadi akhirnya penulis ketahui memiliki nama Dewi Sartika, ia memilih kembali ke rumah dan mengajak penulis setelah mengantar kue dan minuman untuk rekan kerjanya. Rumahnya berada di bantaran laut di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
Sebuah desa yang tak jauh dari pusat ibu kota Aceh. Tempat ini memang sejak lama dikenal dengan warganya yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung. Wajar saja jika setiap rumah di sini hampir semuanya terdapat tumpukan sampah plastik.
Pemulung, di masyarakat sering dianggap memiliki konotasi yang negatif. Padahal pemulung pahlawan kebersihan yang turut membantu menjaga keindahan kota. Meskipun harus mengorbankan rumahnya dipenuhi dengan tumpukan sampah plastik.
Hampir setiap orang tidak akan terlepas dari yang namanya bahan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Plastik memang telah menjadi komponen penting dalam kehidupan modern saat ini. Bahkan perannya dapat menggantikan kayu dan logam, karena sifatnya yang lebih fleksibel. Peningkatan penggunaan bahan plastik ini mengakibatkan meningkatnya pula sampah plastik.
Sampah plastik merupakan satu dari banyaknya jenis sampah yang sangat sulit diurai dalam tanah. Melakukan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga bukan solusi yang bijak. Oleh sebab itu, peran pemulung patut diapresiasikan. Walaupun tidak seratus persen dapat mengurangi sampah itu sendiri.

Balada Keluarga Pemulung
Sudah sepuluh tahun Dewi melakukan profesinya sebagai pemulung. Setelah memutuskan menikah dan ikut bersama suaminya ke kota Banda Aceh, mereka tidak hanya mengumpulkan barang bekas plastik saja. Namun juga pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai yang sengaja dibuang oleh pemiliknya. Barang-barang ini akan ia jual kembali. Biasanya ia menjual botol bekas setiap seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali.
Barang yang ia kumpulkan sengaja diambil dari TPA Gampong Jawa, yang ia lakukan setiap pagi dan sore hari. Bukan hanya bau tak sedap yang sering ia rasakan, resiko burukpun kerap terjadi.
Dia mengaku hampir setiap hari terkena pecahan kaca ketika mengambil barang bekas. Bahkan kepalanya pernah tak sengaja terkena ujung alat keruk dari excavator, hingga membuatnya harus melakukan kontrol ke rumah sakit setiap dua minggu sekali. Sebelum adanya larangan pembuangan sampah medis yang disatukan dengan sampah masyarakat, ia juga kerap terkena ujung jarum suntik.
Ia bersama suami dan dua anak serta ibu kandungnya, memilih hidup bersama sampah. Baginya itu lebih baik dari pada harus meminta-minta atau bekerja pada orang lain.
“Kalau saya, nggak papa hidup bersama sampah. Yang penting halal. Nggak bekerja dengan bergantung sama orang lain. Apalagi sampai minta-minta,” katanya.
Memang tak seberapa hasil yang ia dapatkan, tapi baginya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan juga sekolah anak. Biasanya ia bisa memperoleh uang Rp 300.000 dalam waktu seminggu. Anak pertamanya kini berada di bangku kelas satu Sekolah Dasar (SD).
Ia tidak malu memperkenalkan dirinya sebagai pemulung. Tanggapan negatif dari masyarakat tentang pemulung ia anggap biasa saja. Menurutnya masyarakat masih banyak yang belum tau bagaimana kehidupan mereka aslinya. Padahal sama saja dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja, kehidupan mereka berdampingan langsung dengan sampah sehingga terkadang memiliki penilaian yang negatif.
“Saya nggak malu jadi pemulung. Orang di luar sana, anggap remeh kami pemulung. Padahal kami sama aja. Cuma karena hidup bersama sampah aja yang buat beda,” ujarnya.
Selain resiko pekerjaannya yang tinggi, hidup di lingkungan yang penuh dengan sampah tentunya menurut pandangan banyak orang memiliki resiko gangguan kesehatan yang besar. Gangguan pernafasan, kulit, hingga diare misalnya, tentu menjadi bayang-bayang dalam kehidupan di lingkungan seperti ini. Bau busuk sampah tentu tidak sehat jika dihirup setiap hari. Demikian juga dengan fisik sampah yang diharapkan tidak berdampingan langsung dengan warga.
Namun demikian, hidup bersama sampah nyatanya justru melahirkan kekebalan fisik tersendiri untuk keluarga pemulung. Dewi mengaku, dirinya dan keluarga hampir bisa dikatakan tidak pernah menderita penyakit yang serius.
“Alhamdulillah, saya udah sepuluh tahun tinggal di sini tapi sehat-sehat aja. Anak-anak juga. Paling sakit biasa, batuk, pilek, demam, wajar. Apalagi kalau lagi musimnya. Mau di tempat seperti ini maupun di kota sekalipun, kalau cuma flu pun pasti kena,” jelasnya.
Ia juga bercerita, meskipun ia yakin akan kesehatannya, namun kerap kali dirinya diminta menjadi sample uji coba mahasiswa kesehatan.
“Walaupun saya yakin sama kesehatan saya, kadang saya kasih juga apa yang diminta. Cuma kadang kalau keseringan, capek juga kan. Jadi kadang saya jawab semalam baru saja minum obat cacing,” ujarnya diselingi dengan tawa.
Terkait kesehatan pemulung menurut Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh sendiri, penulis telah mencoba menghubungi kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh Warqah Helmi, namun tidak kunjung mendapatkan jawaban. []
Penulis : Cut Salma H.A
Tugas Akhir Mahasiswa Muharram Jounalism College (MJC) Banda Aceh